Gadis Pantai,,,

Sampai tadi malam, sudah kali ketiga saya membaca novel "Gadis Pantai" karya Pramoedya Ananta Toer. Dan untuk ketiga kalinya juga saya menangis, tersedan, saya terharu dan tersentuh,,, untuk kaumku, kaumku perempuan.



Tak henti-hentinya saya bersyukur. Bersyukur yang kadang sering saya lupakan, terlupakan karena dalam pikiran sempit seorang saya, semua terlihat begitu biasa, tidak ada yang istimewa. Padahal jika saya memandang balik jauh ke belakang, ke sejarah bangsa kita yang kelam dan panjang, betapa saya harusnya begitu mensyukuri hidup saya, beruntung hidup di massa ini. Saya mendapatkan segala kesempatan, kebebasan, kemerdekaan hidup, kemerdekaan memilih, kemerdekaan dari rasa takut dan mendapatkan cinta yang dengan (alhamdulillah) begitu mudahnya jika dibandingkan dengan kaum saya di massa lampau.


Gadis pantai, bersetting cerita di pesisir utara pantai jawa. Hidup sederhana dengan saudara-saudara dan emak Bapaknya di sebuah desa nelayan. Mereka miskin, tak selalu bisa makan nasi, semua penduduk desa harus bertaruh nyawa untuk mengeruk hasi laut sebagai sumber pencaharian mereka. Tapi meski miskin dan kadang dipukuli orang tuanya, gadis pantai bahagia, karena memiliki kemerdekaannya, kemerdekaan hatinya, kebebasan untuk menjadi dirinya, berteriak, menangis, berekspresi dan menunjukkan cintanya, memiliki yang dimilikinya.



Semua terampas sejak dia, si gadis pantai, di peristri atau lebih tepatnya menjadi selir seorang Bendoro, orang kaum atasan. Hidup di Gedong dengan tubuh membumbung harum wewangian.

Kontradiksi yang diciptakan oleh Almarhum Pak Pram selalu membuat saya bergetar. Antara kehilangan kebebasan yang sangat menyiksa dan perasaan ingin memiliki dan dimiliki selamanya, kebahagian menjadi milik bendoro dan perasaan cemas akan goyahnya posisi istri yang dipegangnya. antara berpisah dengan bayi yang dilahirkannya karena harapan agar anaknya hidup lebih baik dan keinginan untuk membesarkannya, berada dekat dengannya.

Pertama kali membaca, kala itu saya masih tinggal di jogjakarta, mahasiswi, buku pun saya pinjam dari sahabat saya. Perasaan saya saat itu lebih ke arah marah, marah karena kaum saya diperlakukan bagai benda tak bernyawa, hanya alat. Sedih, sedih karena kaum saya tak sanggup berjuang untuknya.

Kali kedua saya membaca di ulang tahun saya yang ke 25 tahun, hadiah ulang tahun dari pacar saya (suami sekarang). saya masih meneteskan airmata terharu karena kaum saya, perempuan, tidak punya hak yang sama, tidak punya kesempatan, tidak bisa mencintai, memilih dan mencintai yang dicintai. Tidak bisa berkata "kau milikku" tidak punya hak sama sekali.

Kini, saya kembali menangis, lebih haru dari kedua pengalaman sebelumnya. Karena kini saya tahu artinya menjadi seorang istri, saya haru karena tau rasanya seorang Ibu.

Dan kembali saya bersyukur sekali, saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup demokratis, saya diberikan kesempatan berkembang, hidup, memilih, dan mencapai cita-cita saya sendiri.

(Singkatnya) lalu saya menerima lamaran suami saya, karena saya telah memilih. dan meski suami adalah seorang yang super sibuk, selalu pulang malam dan kadang menginap di kantor, tapi dia bukan bendoro gadis pantai(yang juga sering lama tidak pulang), dia laki-laki penuh kasih, penuh pengertian, dan satu hal lagi sangat menghormati hak saya, sangat menghargai perasaan saya, bangga akan apa yang telah saya raih.

Dan saya bersyukur sekali, karena tidak seperti gadis pantai, saya bisa membesarkan anak saya sendiri, berkesempatan memberikannya ASI hingga kini di usianya yang menginjak 1 tahun 8 bulan. Saya bersyukur sekali tidak (dan jangan sampai) dipisahkan dengan anak saya.

Saya tau, gadis pantai hanya roman, tapi saya percaya, Pak Pram menulis pada setting waktu, tempat saat itu jamak perempuan yang diperlakukan tak adil seperti itu.

Dan hari ini berakhir dalam sesitifitas terhadap gender yang sedemikian besarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment, please,,,,