,,,selamat siang pak,,,


panas,,,
turun dari sebuah angkot,,,,
tergesa-gesa mencari taxi,,,
Bunyi klakson, pengendara motor yang marah-marah,,,
sebuah pemandangan pagi yang terlalu biasa buat saya.

jika suami tercinta sedang diluar kota, atau sedang tidak bisa menunaikan tugas untuk mengantar saya ke kantor, maka adegan di atas lah yang akan saya alami setiap hari.

saya memang menggunakan Taxi di separuh jalan. Bukan karna kelebihan uang, tetapi untuk jarak yang dekat saya harus berganti angkot berkali-kali, belum lagi ditambah menyebrangi rel kereta api yang sangat padat di pagi hari dan debunya yang puihhhh berterbangan kesana kemari ,,, uffhh,,,,meskipun beda beberapa ribu lebih baik, lebih simple menggunakan taxi.



semuanya sama, ketergesaan yang sama, pagi yang sama,,,

Hanya saja pagi ini agak beda, membuat saya "agak tersenyum" di pagi yang selalu sibuk ini.

Masih seperti biasa, saya masuk kedalam taxi, duduk di kursi belakang dan berlanjut dengan adegan sapaan sopan dari pak supir taxi , hanya saja kali ini agak berbeda : " selamat siang bu" katanya

"hah?" saya kaget alih-alih menjawab dengan sopan sapaannya,

" eh,,, udah siang ya?" saya menjawab sambil tersenyum geli.

" lho iya lo bu" katanya dalam nada jawa yang kental

saya tertawa lagi

Saya jadi teringat penulis favorite saya Pak Umar Kayam, dalam buku kumpulan kolomnya berjudul mangan ora mangan kumpul. Ada adegan dimana Pak Ageng dan kabinet kitchennya Mr. Rigen memperdepatkan masalah sapaan waktu ini, diceritakan saat itu Pak Ageng sedang berada di Jakarta dan sedang menelepon Mr. Rigen yang sedang ada di DIY, asisten yang suka ngeyel ini dengan pastinya menyapa "selamat siang" padahal waktu belum menunjukkan pukul 12.00 siang. Adegan berikutnya, gaya khas pak Kayam (yang sangat ngangenin itu) diceritakan perdebatan yang lucu, segar, dan penuh pembelajaran antara Pembantu dan majikan itu.

Pagi itu eh siang itu, tidak seperti Pak Ageng dalam cerita Pak Kayam, saya tidak berdebat dengan pak supir taxi,,,,

Saya tersenyum ketika dia menyapa selamat siang lebih karena merasa "tersindir".
Berangkat kantornya kok siang amt buuuuuu ,,,, kira-kira begitu,,,

,,,dan saya memicingkan mata, karena matahari bersinar begitu teriknya,,, ah siang pak Supir (dalam hati)

Jenis kelamin versus dunia kerja

Seperti saya yang pernah saya ceritakan sebelumnya, tentang kontradiksi dunia saya. Meskipun belakangan sudah lumrah sekali perempuan yang berkecimpung di dunia sipil (bahkan banyak pekerjaan super lainnya yang dilakoni oleh wanita-wanita perkasa indonesia), namun paradigma bahwa dunia sipil terutama site construction adalah pekerjaan mayoritas lelaki tetap saja menjadi topik di tempat saya bekerja sekarang.

Saya sering merasa "dilecehkan" secara kesipilan, misalnya :

"ga usah bu, nanti capek" atau

"ibu tunggu dikantor saja, nanti kalau sudah selesai saya panggil lagi, disini panas bu, berdebu lagi"



kadang saya juga merasakan mereka (bapak-bapak pekerja disini) menahan nafas jika saya mulai memanjat-manjat, atau seolah-olah saya mendengar mereka berkomentar "tuh kan,," jika kepala saya membentur ducting atau cable tray yang bersliweran (i'm using helmet anyway)


Pekerjaan renovasi ini sebenernya susah-susah gampang, seperti "membedaki nenek-nenek peyot" kata bos saya. Tapi sesungguhnya lebih complicated, karena kita harus punya banyak akal-akalan untuk "mempertemukan" kebutuhan sekarang dan masa depan dengan keadaan yang ada sekarang.


Untuk itu saya terkadang harus tertunduk-tunduk berjalan diantara rapatnya existing HVAC ducting di technical floor, hanya untuk melihat dan memberikan keputusan apakah aman untuk memotong frame truss existing untuk membuat exhaust yang baru, serta additional support seperti apa yang harus ditambahkan disana.

another case, kemaren sore saya sedang memberikan instruksi kepada Kontraktor ME untuk menambahkan satu UPS light di existing roof slab, sebelumnya saya tentunya harus mengetahui persis kondisi lapangan, workable kah?, untuk mengetahui itu semua saya harus menaiki sebuah monkey ladder yang cukup tinggi, naik ke roof slab, kemudian mencari kebagian mana slab tsb harus di coring dan sebagainya.

maka mulailah saya menaiki tangga monyet yang cukup licin itu, ketika angin sore mulai meniup kencang wajah saya, supervisor dari kontraktor ME tadi terus saja meneriaki saya dengan keraguan penuh terhadap kemampuan saya.

"waduh, yakin ni bu?" katanya dengan dialek lokal betawi yang kental

"tinggi ni bu, saya nggak tanggung dah bu, kalo jatoh begimana?"

"mending ga usah deh bu, mana badannya gede kalo jatoh begimana bu?"

Demi teriakannya orang-orang disekitar kami jadi ikut memperhatikan saya.
Wah, saya jadi malu sekaligus ikut-ikutan meragukan kemampuan saya. Saya jadi serta merta setuju dengan supervisor itu, untuk cepat-cepat turun, diiringi teriakan lega dari sang supervisor. kekalahan di pihak saya.


saya jadi teringat masa muda saya dulu, ketika masih kuliah di jogja dulu, saya pernah bersama seorang sahabat baik saya menaiki tangga monyet yang sangat tinggggiiiiiii.....
"jangan lihat kebawah" kata sahabat saya mewanti-wanti
sebuah reservoir atau tandon air bikinin belanda untuk melayani sebuah asrama mahasiswa kalimantan (kalau tidak salah).
Dari ketinggian tersebut kami dapat melihat atap-atap bangunan jogja dan menikmati angin disore hari yang swejuk...

waktu itu saya juga diteriak-teriaki, bukan, bukan karena meragukan kemampuan saya.
Tapi justru teriakan memarahi kebandelan saya dan sahabat saya tersebut, karna seharusnya monkey ladder itu hanya untuk orang yang merawat atau membersihkan tandon air tersebut, bukan untuk bermain-main.

Well Mungkin saya yang terlalu sensitive ya,,,
atau justru malah cerminan bahwa saya memang tidak mampu dan merasa marah karena "ketahuan" dengan para lawan jenis saya?? who knows??