Jenis kelamin versus dunia kerja

Seperti saya yang pernah saya ceritakan sebelumnya, tentang kontradiksi dunia saya. Meskipun belakangan sudah lumrah sekali perempuan yang berkecimpung di dunia sipil (bahkan banyak pekerjaan super lainnya yang dilakoni oleh wanita-wanita perkasa indonesia), namun paradigma bahwa dunia sipil terutama site construction adalah pekerjaan mayoritas lelaki tetap saja menjadi topik di tempat saya bekerja sekarang.

Saya sering merasa "dilecehkan" secara kesipilan, misalnya :

"ga usah bu, nanti capek" atau

"ibu tunggu dikantor saja, nanti kalau sudah selesai saya panggil lagi, disini panas bu, berdebu lagi"



kadang saya juga merasakan mereka (bapak-bapak pekerja disini) menahan nafas jika saya mulai memanjat-manjat, atau seolah-olah saya mendengar mereka berkomentar "tuh kan,," jika kepala saya membentur ducting atau cable tray yang bersliweran (i'm using helmet anyway)


Pekerjaan renovasi ini sebenernya susah-susah gampang, seperti "membedaki nenek-nenek peyot" kata bos saya. Tapi sesungguhnya lebih complicated, karena kita harus punya banyak akal-akalan untuk "mempertemukan" kebutuhan sekarang dan masa depan dengan keadaan yang ada sekarang.


Untuk itu saya terkadang harus tertunduk-tunduk berjalan diantara rapatnya existing HVAC ducting di technical floor, hanya untuk melihat dan memberikan keputusan apakah aman untuk memotong frame truss existing untuk membuat exhaust yang baru, serta additional support seperti apa yang harus ditambahkan disana.

another case, kemaren sore saya sedang memberikan instruksi kepada Kontraktor ME untuk menambahkan satu UPS light di existing roof slab, sebelumnya saya tentunya harus mengetahui persis kondisi lapangan, workable kah?, untuk mengetahui itu semua saya harus menaiki sebuah monkey ladder yang cukup tinggi, naik ke roof slab, kemudian mencari kebagian mana slab tsb harus di coring dan sebagainya.

maka mulailah saya menaiki tangga monyet yang cukup licin itu, ketika angin sore mulai meniup kencang wajah saya, supervisor dari kontraktor ME tadi terus saja meneriaki saya dengan keraguan penuh terhadap kemampuan saya.

"waduh, yakin ni bu?" katanya dengan dialek lokal betawi yang kental

"tinggi ni bu, saya nggak tanggung dah bu, kalo jatoh begimana?"

"mending ga usah deh bu, mana badannya gede kalo jatoh begimana bu?"

Demi teriakannya orang-orang disekitar kami jadi ikut memperhatikan saya.
Wah, saya jadi malu sekaligus ikut-ikutan meragukan kemampuan saya. Saya jadi serta merta setuju dengan supervisor itu, untuk cepat-cepat turun, diiringi teriakan lega dari sang supervisor. kekalahan di pihak saya.


saya jadi teringat masa muda saya dulu, ketika masih kuliah di jogja dulu, saya pernah bersama seorang sahabat baik saya menaiki tangga monyet yang sangat tinggggiiiiiii.....
"jangan lihat kebawah" kata sahabat saya mewanti-wanti
sebuah reservoir atau tandon air bikinin belanda untuk melayani sebuah asrama mahasiswa kalimantan (kalau tidak salah).
Dari ketinggian tersebut kami dapat melihat atap-atap bangunan jogja dan menikmati angin disore hari yang swejuk...

waktu itu saya juga diteriak-teriaki, bukan, bukan karena meragukan kemampuan saya.
Tapi justru teriakan memarahi kebandelan saya dan sahabat saya tersebut, karna seharusnya monkey ladder itu hanya untuk orang yang merawat atau membersihkan tandon air tersebut, bukan untuk bermain-main.

Well Mungkin saya yang terlalu sensitive ya,,,
atau justru malah cerminan bahwa saya memang tidak mampu dan merasa marah karena "ketahuan" dengan para lawan jenis saya?? who knows??

1 komentar:

  1. "dilecehkan" secara kesipilan? ckckckkckk...

    gw jd ketawa neh, bayangin lo dah berani2 naek tangga, tapi jd ikut2 takut gara2 org2 di bawah lo ketakutan?!?!hehehe

    manjant tower dpn asrama ugm lg yoook!takuttt??!!hoho

    BalasHapus

Comment, please,,,,